Momen maulid sesungguhnya merupakan kesempatan berharga bagi umat muslim Indonesia, khususnya di Banten untuk kembali merefleksikan “Kebangkitan umat Islam.” Banyaknya berdiri masjid-masjid di berbagai tempat bahkan sampai di pelosok desa; geliatnya acara-acara kerohanian Islam di televisi-televisi nasional pada bulan Ramadan; ataupun meningkatnya pengajian-pengajian majelis taklim dengan mengundang ustad-ustad kondang, kesemua contoh diatas bagi Gus Dur (baca: Abdurrahman Wahid) belum bisa dijadikan parameter bagi “kebangkitan umat Islam.”
Sosok almaghfurlah K.H. Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur selalu menjadi pembicaraan yang tiada hentinya untuk dibahas. Sosok yang menjadi guru bangsa ini sangat unik baik dari segi perilakunya dan pemikiran. Raganya telah lama berkalang tanah, namun jiwa dan pemikirannya menyejarah sepanjang zaman.
Gus Dur dari segi geneologinya lahir dari latar belakang keluarga yang sangat dihormati. Putra salah seorang pendiri bangsa dan menteri agama pertama RI yang juga ikut menjadi deklarator pnandatangan Piagan Jakarta, KH. Wahid Hasyim. Kakek beliau merupakan ulama terkemuka dan tokoh paling berpengaruh di Jawa pada masa Pendudukan Jepang sekaligus pendiri Ormas agama terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Bak buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, prasasti pemikiran Gus Dur sangat terefleksi dari kedua tokoh di atas. Keintelektuslitasnya bukan sekadar an sich, tapi Gus Dur mampu mengejawantahkannya dalam kehidupan sosial sehari-hari. Persis yang dilakukan dua pendahulu, intelektual cum aktivis. Singa yang melahirkan singa, bukan singa yang melahirkan anak kambing.
Abdurrahman Ad-Dakhil, begitulah nama kecilnya. Diinspirasi dari seorang pahlawan Islam, bernama Abdurrahman, yang menjadi penakluk (Ad-Dakhil) Andalusia. Gus Dur muda sangat menyukai wayang. Ketertarikannya pada wayang tercermin dalam pernyataannya dibawah ini:
“… sejak kecil saya dibesarkan dalam tradisi cerita-cerita wayang, dan sejak usia sepuluhan tahun sudah menjadi penonton wayang dan sesekali wayang orang…”
Wayang sangat penting bagi orang jawa. Wayang bisa dijadikan miniatur kehidupan manusia. Ciri dalam wayang ialah tidak ada yang sempurna. Tokohnya tidak selalu hitam maupun tidak selau putih. Dalam wayang pula, tidak ditemukan tokoh wayang selalu jahat ataupun selalu baik. Ada sisi positif juga negatif dalam tiap tokoh pewayangan. Begitulah Gus Dur yang selau memandang manusia, meskipun berlainan agama dari sisi positif. Sehingga ia dapat mengakomodirsetiap perbedaan mainstream, tak pelak beliau dianugerahi Bapak Pluralis Indonesia.
Pribumisasi dan Dinamisasi
Kebangkitan umat Islam bukan sekadar dijadikan kebangkitan simbolik, tetapi nilai-nilai etis dari ajaran Islam dapat terejawantahkan dalam wawasan dan praksis kemanusiaan. Kebangkitan atau kebangunan muslim menjadi centang perenang ketika hanya dilihat dari simbolis formalistik. Umat Islam di Indonesia terlalu bangga dengan jumlah mayoritas penduduknya yang hampir 90 persen, tapi ,meminjam kalimat, hanya 20 %, yang termasuk kategori (benar-benar) santri (kaffah) (Nur Khalik Ridwan, 2012).
Kebangkitan Islam itu akan terjadi, menurut Gus Dur bila kaum muslimin mampu merumuskan kembali arti dan hikmah ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Mengendalikan kedua-duanya untuk kepentingan melestarikan kehidupan umat manusia di muka bumi, bukan semata-mata untuk kepentingan segelintir kelompok pemilik modal dan sejumlah penguasa.
Umat Islam harus melakukan penemuan-penemuan baru, dan menerapkan juga menafsirkan kembali sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia. Selain itu, kaum muslimin dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki aneka ragam cabarandan kemungkinan.
Gus Dur, yang menjadikan Aswaja (ahlussunah waljamaah) sebagai air spiritual yang menghidupi perjalanan kehidupannya, menawarkan gagasan segar untuk mencapai ke arah kebangkitan Islam, diantaranya sisebut Gus Dur: pertama, melakukan dinamisasi, dan kedua, melakukan pribumisasi Islam.
Dinamisasi menjadi alat untuk menggerakkan tradisi agar terus lestari dalam zaman yang terus berubah. Bagaimana tantangan perubahan tersebut ditanggapi secara bijak bestari oleh umat muslim dengan tetap berpijak pada tradisi, di satu sisi, dan di sisi lain tidak menolak perubahan. Menurut Gus Dur, dinamisasi mencakup dua proses; “penggalakan kembali nilai-nilai hidup lama yang positif (yaitu tradisi yang ada), selain itu juga mencakup penggantian nilai-niali lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna (transformatif). Dinamisasi mencakup modernisasi dari segi pengertiannya, tetapi dinamisasi bukanlah westernisasi yang tidak diinginkan oleh Gus Dur untuk diterapkan pada umat Islam Indonesia.
Pribumisasi Islam menjadi bagian dari dinamisasi. Pribumisasi sendiri menjawab dan mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan lokal dalam segi-segi kontekstual, dalam artian pemahaman terhadap nash-nash dalam Al Qur’an dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.
Pribumisasi bukanlah Jawanisasi. Atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan di dalam merumuskan hokum-hukum agama itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhankebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash dengan tetap memberikan peranan pada ushul fiqh dan qa’idah fiqh.
Pribumisasi Islam khusus ditujukan kepada para cendekiawan (intelektual). Tentunya seorang cendekiawan yang memiliki beberapa persyaratan, diantaranya disebutkan: pertama, mengetahui dan paham akan ushul fiqh dan qaidah fiqh; kedua, mengetahui dasar-dasar hikmah syariah yang tidak bisa diganggu gugat yaitu: hak dasar untuk melindungi keselamatan fisik, keyakinan, profesi/pekerjaan, dan keturunan/keluarga. Juga menghargai nilai-nilai keadilan, persamaan, dan demokrasi; ketiga, harus tahu mempertimbangkan kepentingan lokal (Nur Khaliq Ridwan, 2012).
Pendekatan Kultural ke arah Struktural
Dilihat dari perspektif sejarah, contoh kecil dari penerapan pribumisasi Islam dapat dilihat dari kasus penentuan arah kiblat solat di masjid Demak yang ketika itu baru saja dibangun. Umat muslim saat itu saling memeperdebatkan arah kiblat solat yang benar menurut argumen mereka masing-masing. Ditengah memuncaknya perdebatan , datanglah seorang anggota dari walisongo yang sangat dipercaya, Sunan Kalijaga (menurut berbagai sumber, Gus Dur masih ada nasab keturunan ke Sunan Kalijaga). Sunan Kalijaga menjadi penengah percekcokan tersebut, ia merentangkan kedua tangannya, dengan tangan kanan seolah disimbolakan memegang puncak kiblat dan badannya berada ditengah menjadi penghubung antara tangan kirinya yang memegang puncak mestoko masjid Demak. Umat Islam saat itu pun mengamini akan usaha yang dilakukan sunan yang terkenal dengan sifat ‘njawani’.
Terlepas dari kebenaran cerita diatas, karena sejarah sendiri bersifat subjektif berdasar kepada tuan tuturnya (his story), kita dapat mengambil hikmah, betapa para walisongo sangat berhati-hati dalam mengajarkan ajaran Islam pada masyarakat Jawa yang sangat multikultural. Digambarkan dari cerita diatas, bagaimana Sunan Kalijaga memformulasikan ajaran Islam dengan simbolisasi blangkon dan busana kejawen yang sesuai dengan kebudayaan Jawa sendiri. Sunan Kalijaga tidak mengangkat Kiblat, dalam simbolisasinya, dengan kedua tangannya kemudian ditumpekbleg ke masjid Demak, tapi dengan menjadi perantara antara tangan kanannya yang menyentuh kiblat dengan tangan kirinya yang memegang puncak mestoko masjid Demak. Ada harmonisasi diantara keduanya.
Umat Islam harus mampu menerapkan nilai-nilai dasar dalam Islam pada lokalitas yang berbeda dan tidak terjebak pada proses “Arabisasi” atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya kita sendiri.lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. bukan untuk menghindai timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru budaya itu sendiri agar tak hilang. Inti dari pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya yang tak dapat terelakkan.
Gus Dur pribadi, dalam salah satu kolomnya di surat kabar SINDO (Seputar Indonesia), membagi dunia Islam dalam melaksanakan ajaran-ajaran tersebut menjadi 6 (enam) kawasan. Pertama, Islam di masyarakat Afrika Hitam/Islam Sub-Sahara. Kedua, di masyarakat-masyarakat Turki, Persia, dan Afganistan. Keempat, di masyarakat-masyarakat Asia depan (Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka). Kelima, masyarakat-masyarakat Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Lalu keenam, masyarakat-masyarakat Islam di negeri-negeri industri maju. Untuk itu, diperlukan sebuah studi kawasan Islam (Islamic area studies).
Gus Dur merupakan pohon kehidupan yang memiliki banyak sekali ranting dan dedaunan. Sebagai pohon ia menyediakan wawasan kultural dan sosiokultural untuk terus dikembangkan oleh ranting-ranting dan dedaunan rimbun tersebut. Wawasan itu salah satunya dalah “Pribumisasi Islam.” Melalui pribumisasi Islam, Gus Dur berusaha memanusiakan manusia dengan pendekatan kultural untuk melakukan perubahan struktural.
Bagi Gus Dur, Kebangkitan umat Islam tidak hanya dengan jalan memformalkan ajaran-ajaran saja, tetapi pelaksanaan ajaran-ajaran agama tersebut dalam masyarakat yang harus diperhitungkan. Tantangan dan rintangan pasti selalu menjadi onak dalam perjalanannya memanifestasikan pemikiran beliau, tetapi Gus Dur tetap ajeg pada keyakinannya tanpa kenal takut dan selau percaya diri. Ia tidak dendam pada tiap elemen yang memusuhi pemikirannya, karena bagi Gus Dur sendiri menegakkan kebenaran sama saja dengan menegakkan kesabaran.
Penulis: Tubagus Umar Syarif Hadi WIbowo
Artikel ini diterbitkan dalam koran KABAR BANTEN, Jumat 6 November 2020


wah keren banget